‘Abdullâh bin Mubârak ra. berkisah, “Suatu ketika aku pergi menunaikan haji ke tanah suci. Pada saat berada di Hijr Ismâ‘îl, aku bermimpi bertemu Rasulullâh saw. Dalam mimpi tersebut Rasulullâh berkata kepadaku, “Jika kau pulang ke Baghdad nanti, singgahlah dulu di tempat ini, dan carilah orang yang bernama Bahrâm al-Majûsî. Sampaikan salam dariku dan katakan padanya, “Sesungguhnya Allâh telah meridhaimu”. Aku pun terbangun dan menganggap mimpi itu berasal dari setan. Kemudian aku berwudhu, shalat dan berthawaf hingga akhirnya aku tertidur dan kembali bermimpi yang sama sampai tiga kali.
Setelah aku menyelesaikan hajiku, aku pun pulang ke Baghdad dan mencari tempat yang disebutkan oleh Rasulullâh saw. Akhirnya aku menemukan tempat itu dan menjumpai seorang kakek-kakek, seraya bertanya, “Apakah anda yang bernama Bahrâm al-Majûsî?”. Orang tua itu menjawab, “Ya, akulah Bahrâm al-Majûsî”. Aku kembali bertanya, “Apakah anda merasa memiliki kebaikan di sisi Allâh?”. Ia menjawab, “Ya, aku mempunyai empat orang puteri dan empat orang putera, kemudian aku mengawinkan keempat puteriku tadi dengan saudara mereka yang laki-laki”. Aku berkata, “Ini adalah sesuatu yang diharamkan, apakah anda mempunyai sesuatu selain itu?”. Ia kembali menjawab, “O ya, aku mengadakan pesta bagi kaum Majûsî pada waktu perkawinan anak-anakku”.
Aku berkata, “Ini juga haram, apakah ada hal lainnya?”. Ia menjawab, “Aku mempunyai puteri yang sangat cantik sehingga aku sendiri yang mengawininya. Aku mengadakan pesta pada malam pertama yang dihadiri lebih dari seribu orang Majûsî”. Aku berkata, “Ini juga sesuatu yang haram, adakah hal yang selain itu?”. Ia menjawab, “Pada malam pertama kali aku berhubungan dengan puteriku, datang seorang perempuan yang seagama denganmu, mengambil api dari lampuku. Aku melihat ia menyalakan lampu tetapi kemudian ia keluar dengan memadamkannya. Ia bolak-balik melakukan hal yang sama sampai tiga kali. Aku curiga mungkin ia seorang mata-mata. Maka aku pun aku keluar mengikutinya dari belakang. Ketika ia memasuki rumahnya, anak-anaknya berkata, “Wahai ibu ! apakah engkau membawakan makanan untuk kami, kami sudah tidak kuat lagi menahan lapar”. Dengan berlinang air mata, perempuan tersebut berkata, “Aku malu pada Tuhanku, untuk meminta selain kepada-Nya, apalagi kepada seorang Majûsî yang merupakan musuh-Nya”. Bahrâm meneruskan ceritanya, “Ketika mendengar ucapan perempuan itu, aku bergegas menuju rumahku dan mengambil karung, kemudian aku memenuhinya dengan segala sesuatu yang mungkin dibutuhkan dan aku sendiri yang membawakannya ke rumah perempuan tersebut”. Setelah mendengar kisah ini, aku berkata pada Bahrâm, “Itulah kebaikan di sisi Allah yang diperbuat olehmu, dan juga kabar gembira bagimu”. Kemudian aku menceritakan padanya tentang mimpiku bertemu dengan Rasulullah saw tentangnya, hingga akhirnya ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan kemudian ia pun meninggal.
Mengakhiri kisahnya, ‘Abdullâh menitipkan pesan yang agung bagi kita, “Perbanyaklah derma kepada siapa pun ciptaan Allâh, karena sesungguhnya hal itu akan mengubah status seseorang, bahkan yang asalnya pendurhaka menjadi seorang pencinta”. Hujjatul Islâm Imâm Ghazâlî pernah berkata bahwa kedermawanan merupakan pertengahan antara isrâf (berlebih-lebihan) dan iqtâr (kikir). Berbuat derma untuk menolong orang lain merupakan amal universal yang disepakati kebaikannya oleh agama manapun. Untuk itu, Islam sangat menganjurkan umatnya untuk melakukan perbuatan tersebut sebagai upaya menggapai keridhaan Ilahi. “Yang menafkahkan hartanya di jalan Allâh untuk membersihkannya. Padahal tidak seorang pun memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. Tetapi ia lakukan hal tersebut semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi (QS. Al-Layl [92]:18-20)”.